Kamis, 28 Juli 2016

Jangan Marah Zainudin! Hayati Tak Pernah Salah. (Sisi Lain, Nasehat dari Karya Buya Hamka)


Zainudin : “ Demikianlah perempuan,  dia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil. Dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya”.

Sepenggal kalimat  ini memaksa kita memutar kembali kisah cinta Zainudin dan Hayati di tiap tiap segmen sebelumnya dari film layar lebar tenggelamnya kapal Van Der Wijck. Hayati kejam.

Sepenggal kalimat yang memaksa jari jemari kita membuka lembaran kisah sebelumnya yang di catatkan dalam novel yang sama. Hayati kejam.

Ya, sepenggal kalimat ini menuntun kita untuk menarik kesimpulan bahwa Hayati sesosok wanita yang kejam sebab penghianatannya kepada Zainudin.

Marah, iya. Zainudin, seolah ingin mencabut duri duri yang tertancap di kerongkongannya. Perih yang tertanamkan ingin ia muntahkan setelah bertahun tahun memekik tanpa suara. Beratus ratus hari berteriak tanpa terdengar.

Zainudin : “Lupakah kau, siapakah diantara kita yang kejam? Bukankah kau telah berjanji, seketika saya di usir ninik mamakmu, sebab saya tak tentu asal, orang hina dina, tidak tulen Minangkabau. Ketika itu kau antarkan daku ke simpang jalan. Kau berjanji akan menunggu kedatanganku, meskipun akan berapa lamanya. Tetapi kau beroleh ganti yang lebih gagah, kaya raya, berbangsa beradat, berlembaga berketurunan.

Sepintas terlintas dalam benak kita, bagaimana dulu Hayati lebih memilih lelaki lain. Di saat Zainudin tidak bisa berbuat apa apa. Dalam kepasrahan. 

Tapi Hayati lebih memilih kenyamanan bersama lelaki lain yang lebih kaya. Semua BERSUKA CITA menyambut hari bahagianya Hayati di tengah KETERPURUKAN Zainudin.

Pilihan kata sarat makna dengan kekentalan sastra lama yang tertuang dalam setiap kata katanya membuat kita luluh. Seolah menjadi pembenaran, Hayati memang kejam.

Sah - sah  saja Zainudin marah dan hayati pantas mendapatkan sumpah serapah dari Zainudin.

Zainudin : “Kau kawin dengan dia, kau sendiri memberi keterangan bahwa perkawinan itu bukan paksaan orang lain, tetapi pilihan kau sendiri. Hampir saya mati menanggung cinta, Hayati! Dua bulan lamanya saya tergeletak di atas tempat tidur”.

Runutan kalimat yang membuai kita, menyulap perasaan. Menyulut api amarah.  Terbayang di alam perasaan, bagaimana kelemah lunglaian Zainudin dahulu saat Hayati menikahi lelaki lain. Hayati kejam.

Tapi..
Lupakah kita?

Dulu, sebelum menerima pinangan Aziz, Hayati yang dalam ketidakberdayaannya masih berusaha memperjuangkan Zainudin. Melawan ninik mamaknya semampu yang ia punya. Namun, begitulah potret perempuan tradisional indonesia. Terikat oleh adat.

Tidakkah Hayati lebih baik dari perempuan modern sekarang?  Ya, Hayati “modern” yang lebih memilih kenyamanan bersama laki laki lain tanpa “berjuang” karena di desak oleh zaman.

Lupakah kita?
Hayati, saat ini lemah. Tak berdaya, hanya kepasrahan dan belas kasihan dari Zainudin yang ia harapkan. Tak terbayangkah yang akan terjadi pada Hayati jika dahulu ia yang di tinggal nikah oleh Zainudin?

Jika zainudin berbulan bulan terbaring lemah tak tentu arah, masih bisa bangkit kembali. Mungkinkah hayati akan mampu bangkit, jika Zainudin yang melakukan hal serupa kepada Hayati dulunya? Zainudin sudah pada porsinya.

Dan..
Lupakah kita?

Ada yang salah dalam kisah cinta dan cara cinta mereka. Kalaulah adat istiadat menyalahkan mereka. Bagaimana dengan agama? Takkah salah kisah cinta dan cara cinta mereka di pandang agama? Hmmm..

Selalu ada ibrah disetiap kisah,  senantiasa ada iktibar dalam setiap kejadian. Tapi kadang kita terlupa, terbuai oleh narasi – narasi yang menggiring kita ke alam bawah sadar.

Begitulah karya orang besar, sarat akan makna dan nasehat untuk menjadi orang – orang besar jua. Tentu, bagi yang mampu mengambil i’tibar di dalamnya.

Jangan marah Zainudin, keikhlasanmu sedang diuji.
Jangan marah Zainudin, keimananmu sedang di pukuli.
Jangan marah Zainudin, kedewasaanmu sedang di hakimi.
Jangan marah ya Zainudin, kesabaranmu sedang  grogoti.

Jangan marah Zainudin.
Ujian kesabaran sebenarnya bukan pada saat kita di remehkan, dihinakan atau di salahkan. Namun, ujian kesabaran itu sesungguhnya saat kita berkesempatan untuk marah, menghina, menyalahkan bahkan memukul tapi kita lebih memiih untuk tidak melakukannya.







#PesanBesarYangTerlupakan #BelengguKemarahanZainudin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar