Zainudin : “ Demikianlah perempuan, dia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil. Dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya”.
Sepenggal kalimat ini memaksa kita memutar kembali kisah
cinta Zainudin dan Hayati di tiap tiap segmen sebelumnya dari film layar
lebar tenggelamnya kapal Van Der Wijck. Hayati kejam.
Sepenggal kalimat yang memaksa jari jemari kita membuka
lembaran kisah sebelumnya yang di catatkan dalam novel yang sama. Hayati
kejam.
Ya, sepenggal kalimat ini menuntun kita untuk menarik
kesimpulan bahwa Hayati sesosok wanita yang kejam sebab penghianatannya
kepada Zainudin.
Marah, iya. Zainudin, seolah ingin mencabut duri duri yang
tertancap di kerongkongannya. Perih yang tertanamkan ingin ia muntahkan
setelah bertahun tahun memekik tanpa suara. Beratus ratus hari berteriak
tanpa terdengar.
Zainudin : “Lupakah kau, siapakah diantara kita yang kejam?
Bukankah kau telah berjanji, seketika saya di usir ninik mamakmu, sebab
saya tak tentu asal, orang hina dina, tidak tulen Minangkabau. Ketika
itu kau antarkan daku ke simpang jalan. Kau berjanji akan menunggu
kedatanganku, meskipun akan berapa lamanya. Tetapi kau beroleh ganti
yang lebih gagah, kaya raya, berbangsa beradat, berlembaga berketurunan.
Sepintas terlintas dalam benak kita, bagaimana dulu Hayati
lebih memilih lelaki lain. Di saat Zainudin tidak bisa berbuat apa apa.
Dalam kepasrahan.
Tapi Hayati lebih memilih kenyamanan bersama lelaki lain
yang lebih kaya. Semua BERSUKA CITA menyambut hari bahagianya Hayati di
tengah KETERPURUKAN Zainudin.
Pilihan kata sarat makna dengan kekentalan sastra lama yang
tertuang dalam setiap kata katanya membuat kita luluh. Seolah menjadi
pembenaran, Hayati memang kejam.
Sah - sah saja Zainudin marah dan hayati pantas mendapatkan sumpah serapah dari Zainudin.
Sah - sah saja Zainudin marah dan hayati pantas mendapatkan sumpah serapah dari Zainudin.
Zainudin : “Kau kawin dengan dia, kau sendiri memberi
keterangan bahwa perkawinan itu bukan paksaan orang lain, tetapi pilihan
kau sendiri. Hampir saya mati menanggung cinta, Hayati! Dua bulan
lamanya saya tergeletak di atas tempat tidur”.
Runutan kalimat yang membuai kita, menyulap perasaan.
Menyulut api amarah. Terbayang di alam perasaan, bagaimana kelemah
lunglaian Zainudin dahulu saat Hayati menikahi lelaki lain. Hayati
kejam.
Tapi..
Lupakah kita?
Lupakah kita?
Dulu, sebelum menerima pinangan Aziz, Hayati yang dalam
ketidakberdayaannya masih berusaha memperjuangkan Zainudin. Melawan
ninik mamaknya semampu yang ia punya. Namun, begitulah potret perempuan
tradisional indonesia. Terikat oleh adat.
Tidakkah Hayati lebih baik dari perempuan modern sekarang?
Ya, Hayati “modern” yang lebih memilih kenyamanan bersama laki laki
lain tanpa “berjuang” karena di desak oleh zaman.
Lupakah kita?
Hayati, saat ini lemah. Tak berdaya, hanya kepasrahan dan
belas kasihan dari Zainudin yang ia harapkan. Tak terbayangkah yang akan
terjadi pada Hayati jika dahulu ia yang di tinggal nikah oleh Zainudin?
Jika zainudin berbulan bulan terbaring lemah tak tentu
arah, masih bisa bangkit kembali. Mungkinkah hayati akan mampu bangkit,
jika Zainudin yang melakukan hal serupa kepada Hayati dulunya? Zainudin
sudah pada porsinya.
Dan..
Lupakah kita?
Lupakah kita?
Ada yang salah dalam kisah cinta dan cara cinta mereka.
Kalaulah adat istiadat menyalahkan mereka. Bagaimana dengan agama?
Takkah salah kisah cinta dan cara cinta mereka di pandang agama? Hmmm..
Selalu ada ibrah disetiap kisah, senantiasa ada iktibar
dalam setiap kejadian. Tapi kadang kita terlupa, terbuai oleh narasi –
narasi yang menggiring kita ke alam bawah sadar.
Begitulah karya orang besar, sarat akan makna dan nasehat
untuk menjadi orang – orang besar jua. Tentu, bagi yang mampu mengambil
i’tibar di dalamnya.
Jangan marah Zainudin, keikhlasanmu sedang diuji.
Jangan marah Zainudin, keimananmu sedang di pukuli.
Jangan marah Zainudin, kedewasaanmu sedang di hakimi.
Jangan marah ya Zainudin, kesabaranmu sedang grogoti.
Jangan marah Zainudin, keimananmu sedang di pukuli.
Jangan marah Zainudin, kedewasaanmu sedang di hakimi.
Jangan marah ya Zainudin, kesabaranmu sedang grogoti.
Jangan marah Zainudin.
Ujian kesabaran sebenarnya bukan pada saat kita di remehkan, dihinakan atau di salahkan. Namun, ujian kesabaran itu sesungguhnya saat kita berkesempatan untuk marah, menghina, menyalahkan bahkan memukul tapi kita lebih memiih untuk tidak melakukannya.
![]() |
#PesanBesarYangTerlupakan #BelengguKemarahanZainudin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar