Jumat, 29 Juli 2016

Rumah Makan Padang dan Vaksin Palsu

Ada rumah makan padang, terakhir diketahui menu ayam gorengnya menggunakan ayam tiren (mati kemren).  Bahkan menu tahu gorengnya berasal dari tahu yang mengandung formalin. Rame - rame lah pelanggan protes dan menyalahkan "karyawan penyaji" makanan dirumah makan padang tersebut. Loh kok? Dia kan kerjaannya cuma menyajikan makanan, ngantarin makanan dari meja ke meja pelanggan. Kan bisa saja penjual ayam dan tahu di pasar yang sengaja menjual ayam tiren dan tahu berformalin. Bisa juga, petugas di rumah potong hewan yang sengaja memasukkan ayam tiren untuk dijual. Bisa juga ditempat produksi tahu yang menggunakan formalin agar tahunya awet. Mungkin juga, pemilik rumah makan yang sengaja membeli ayam tiren biar modalnya murah. Kok rame - rame menyalahkan si "karyawan penyaji" makanan yang kerjaannya cuma dari meja ke meja pelanggan? #Aneh (Ilustrasi)

Ada rumah sakit, terakhir diketahui menggunakan vaksin palsu. Rame - ramelah keluarga pasien protes dan menyalahkan dokternya. Loh kok? #Aneh
Ini rumah sakit loh. Dirumah sakit tidak hanya ada dokter. Dokter hanya "karyawan penyaji" di rumah sakit. Sajiannya disiapkan oleh banyak pihak di rumah sakit, bahkan diluar rumah sakit.

Tentang vaksinnya. Sekilas, dokter tidak akan tahu komposisi/bahan vaksinnya asli atau nggak. Tapi akan memeriksa vaksinnya kadarluarsa atau tidak, memastikan vaksin yang dinsuntikkan sudah benar atau tidak. Percayalah, tidak ada dokter yang berniat jahat kepada pasiennya.
Trus, siapa yang salah? Rumah makan padang yang salah? 😃😀😊

Sekarang, lebih baik kita diam dulu. Bersabar mengikuti prosesnya, sambil menunggu kebenaran tentang vaksin palsu. Mungkin ilustrasi rumah makan padang diatas membuka sedikit wawasan kita tentang "pekerjaan dokter" yang tersempitkan selama ini.  #RantaiMasalahnyaPanjang

Tapi memang, isu tentang dokter dan malpraktiknya selalu garing untuk di goreng, renyah untuk dikunyah. Senantiasa menarik untuk disajikan buat pemirsa.

#NegerikuAnehNegerikuKejam
#SaveDokterIndonesia

Fenomena Surat Sakit


Di negeri ini menolong “kebaikan” saja kadang kami khawatir, apalagi jika tidak.

Poli pagi ini.
Setelah memeriksa pasien dan menuliskan resep obat.

Pasien : dok, boleh minta surat sakitny?
Saya   : oh iya. Boleh. Boleh. Minta aja suratnya di depan. Nanti saya tanda tangani.

Pasien : tapi dok. Hmmmm.. Boleh minta surat sakitnya dari tgl sebelum ini dok? Tanggal segini sampai segini.

Saya   : oh gitu. Kalau kesimpulan saya, kondisi bapak sekarang cuma butuh istiraahat 1 – 2 hari. Itu pun saya kasih buat hari ini atau besok.

Pasien : saya minta tolong dok. Surat sakitnya dari tanggal segini sampai segini. Saya sudah sakit dari beberapa hari yang lalu.

Saya   : Mmm... Mohon maaf ya pak kalau seperti itu saya tidak bisa bantu. Bapak mau ngajak saya berbohong ya? (Dengan nada lembut)

Pasien : bukan begitu dok. Perusahaan saya mintanya begitu. Minta tolong ya dok.

Ibu pasien : minta tolong ya dok. Kasihan anak saya. (Ibu pasien ikut menimpali).

Pasien : mohon ya dok. Minta tolong surat sakitnya dari tanggal segitu. Saya sakit dari tanggal segitu.

Saya   : sakit gimana ya pak?

Akhirnya saya ulang lagi anamnesis
( wawancara) pasien dari awal untuk memastikan diagnosa pasien ini. Jurus -jurus anamnesis yang diajarkan guru guru saya dahulu sudah saya kerahkan. Namun arah diagnosa nya belum jelas. Malah bikin bingung.

Saya   : pak. Gimana kalau kita cek kolesterol nya pak. Siapa tau keluhan sakit kepala di bagian belakang karena kadar kolesterolnnya tinggi. Kalau perlu kita cek aja lengkap lengkap darahnya. Siapa tau ada sesuatu yang berbahaya loh pak (jurus terakhir nih ceritanya)

Pasien : oh gitu ya dok. Hmmm..gak usah dulu dok. Kasih obat aja dulu.

Saya   : Nah. Ketauan sekarang (dalam hati). Ini resepnya pak.

Pasien : gimana dengan surat sakitnya dok? (Masih berusaha). Mohon ya dok ya. Kasih tanggal segitu.

Ibu pasien : iya dok. Minta tolong ya dok. Sekali ini aja dok. Kasihan anak saya.

Saya   : pak, buk. Saya bukannya tidak mau menolong. Saya mau tolong pak, buk. Buktinya, saat ibu datang kesini saya mau menerima anak ibuk dan ibuk. Saya obati, tidak saya tolak. Itu bentuk pertolongan saya . Tapi kalau kasusnya seperti ini saya tidak bisa tolong buk. Mohon maaaf sekali ya buk.
Ibu Pasien  : Trus. Gimana dong pak? Gak bisa ya. (Masih berusaha)

Saya   : buk. Ini bukan masalah sepele. Bukan main – main. Ini soal surat menyurat – menyurat. Berurusan dengan hukum nanti jika ada apa apa nanti dari perusahaan bapak. Saat ini bapak tertolong, tapi mau meninggalkan getahnya buat saya nanti? (Berusaha tetap tenang)

Pasien : Iya pak.

Saya   : pak, buk. Pernah dengar kasus dokter kandungan yang dituntut gara di anggap malpraktek, padahaldia bekerja sesuai prosedur.

Pernah dengar kasus dokter bedah di sumatera utara yang di tuntut karena di duga malpraktek. Bahkan jadi sumpah serapah orang – orang. Sementara klarifikasi dari rumah sakitnya, dokter sudah bekerja sesuai prosedur.

Tentang vaksin palsu yang sedang hangat – hangatnya saat ini dengar juga kan pak? Dokter, petugas kesehatan dan rumah sakit jadi bulan bulanan masyarakat. Bahkan ada dokter yang jadi tahanan. Padahal belum tentu mereka yang salah. Vaksin palsunya, juga di suntikkan ke anak cucunya sendiri.

Pasien : iya dok.
Ibu pasien : iya dok. Kasihan saya sama dokter.

Saya   : saya kasihan juga sama anak ibu. Tapi buk, di negeri kita tolong menolong dalam kebaikan saja mengkhawatirkan. Apalagi tolong menolong dalam kasus ibuk ini. Tolong menolong yg tidak sesuai prosedur dan etika profesi.

Pasien : iya dok. Makasi dok.

Kamis, 28 Juli 2016

Jangan Marah Zainudin! Hayati Tak Pernah Salah. (Sisi Lain, Nasehat dari Karya Buya Hamka)


Zainudin : “ Demikianlah perempuan,  dia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil. Dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya”.

Sepenggal kalimat  ini memaksa kita memutar kembali kisah cinta Zainudin dan Hayati di tiap tiap segmen sebelumnya dari film layar lebar tenggelamnya kapal Van Der Wijck. Hayati kejam.

Sepenggal kalimat yang memaksa jari jemari kita membuka lembaran kisah sebelumnya yang di catatkan dalam novel yang sama. Hayati kejam.

Ya, sepenggal kalimat ini menuntun kita untuk menarik kesimpulan bahwa Hayati sesosok wanita yang kejam sebab penghianatannya kepada Zainudin.

Marah, iya. Zainudin, seolah ingin mencabut duri duri yang tertancap di kerongkongannya. Perih yang tertanamkan ingin ia muntahkan setelah bertahun tahun memekik tanpa suara. Beratus ratus hari berteriak tanpa terdengar.

Zainudin : “Lupakah kau, siapakah diantara kita yang kejam? Bukankah kau telah berjanji, seketika saya di usir ninik mamakmu, sebab saya tak tentu asal, orang hina dina, tidak tulen Minangkabau. Ketika itu kau antarkan daku ke simpang jalan. Kau berjanji akan menunggu kedatanganku, meskipun akan berapa lamanya. Tetapi kau beroleh ganti yang lebih gagah, kaya raya, berbangsa beradat, berlembaga berketurunan.

Sepintas terlintas dalam benak kita, bagaimana dulu Hayati lebih memilih lelaki lain. Di saat Zainudin tidak bisa berbuat apa apa. Dalam kepasrahan. 

Tapi Hayati lebih memilih kenyamanan bersama lelaki lain yang lebih kaya. Semua BERSUKA CITA menyambut hari bahagianya Hayati di tengah KETERPURUKAN Zainudin.

Pilihan kata sarat makna dengan kekentalan sastra lama yang tertuang dalam setiap kata katanya membuat kita luluh. Seolah menjadi pembenaran, Hayati memang kejam.

Sah - sah  saja Zainudin marah dan hayati pantas mendapatkan sumpah serapah dari Zainudin.

Zainudin : “Kau kawin dengan dia, kau sendiri memberi keterangan bahwa perkawinan itu bukan paksaan orang lain, tetapi pilihan kau sendiri. Hampir saya mati menanggung cinta, Hayati! Dua bulan lamanya saya tergeletak di atas tempat tidur”.

Runutan kalimat yang membuai kita, menyulap perasaan. Menyulut api amarah.  Terbayang di alam perasaan, bagaimana kelemah lunglaian Zainudin dahulu saat Hayati menikahi lelaki lain. Hayati kejam.

Tapi..
Lupakah kita?

Dulu, sebelum menerima pinangan Aziz, Hayati yang dalam ketidakberdayaannya masih berusaha memperjuangkan Zainudin. Melawan ninik mamaknya semampu yang ia punya. Namun, begitulah potret perempuan tradisional indonesia. Terikat oleh adat.

Tidakkah Hayati lebih baik dari perempuan modern sekarang?  Ya, Hayati “modern” yang lebih memilih kenyamanan bersama laki laki lain tanpa “berjuang” karena di desak oleh zaman.

Lupakah kita?
Hayati, saat ini lemah. Tak berdaya, hanya kepasrahan dan belas kasihan dari Zainudin yang ia harapkan. Tak terbayangkah yang akan terjadi pada Hayati jika dahulu ia yang di tinggal nikah oleh Zainudin?

Jika zainudin berbulan bulan terbaring lemah tak tentu arah, masih bisa bangkit kembali. Mungkinkah hayati akan mampu bangkit, jika Zainudin yang melakukan hal serupa kepada Hayati dulunya? Zainudin sudah pada porsinya.

Dan..
Lupakah kita?

Ada yang salah dalam kisah cinta dan cara cinta mereka. Kalaulah adat istiadat menyalahkan mereka. Bagaimana dengan agama? Takkah salah kisah cinta dan cara cinta mereka di pandang agama? Hmmm..

Selalu ada ibrah disetiap kisah,  senantiasa ada iktibar dalam setiap kejadian. Tapi kadang kita terlupa, terbuai oleh narasi – narasi yang menggiring kita ke alam bawah sadar.

Begitulah karya orang besar, sarat akan makna dan nasehat untuk menjadi orang – orang besar jua. Tentu, bagi yang mampu mengambil i’tibar di dalamnya.

Jangan marah Zainudin, keikhlasanmu sedang diuji.
Jangan marah Zainudin, keimananmu sedang di pukuli.
Jangan marah Zainudin, kedewasaanmu sedang di hakimi.
Jangan marah ya Zainudin, kesabaranmu sedang  grogoti.

Jangan marah Zainudin.
Ujian kesabaran sebenarnya bukan pada saat kita di remehkan, dihinakan atau di salahkan. Namun, ujian kesabaran itu sesungguhnya saat kita berkesempatan untuk marah, menghina, menyalahkan bahkan memukul tapi kita lebih memiih untuk tidak melakukannya.







#PesanBesarYangTerlupakan #BelengguKemarahanZainudin